Senin, 08 Desember 2014

Dinding

Aku dalam sebuah ruangan yang besar dan gelap. Seseorang diruangan samping tempatku, kami cukup dekat namun berbatas dinding yang tak kalah besarnya dengan dinding yang menjadi pagar ruanganku. Ruang yang membuatku sesak. Sesak yang tak hanya kurasa saat bernafas namun sesak yang juga kurasa saat berusaha membuat dinding ini tetap utuh, menjaga dinding ini tetap menjadi tempat yang nyaman untuk ku tinggali. Semakin lama disini semakin merasa kehilangan, dinding terlalu menjadi batas untuk melihat bagaimana indahnya matahari menjadi raja kala siang dan bersembunyi karena takut akan melihat malam yang begitu gelap. Apa aku juga begitu, terlalu takut dengan kegelapan dalam ruang ini hingga yang bisa ku lakukan hanya menyindir pelan dinding ini agar mau membuka sedikit jendela agar cahaya bisa menerangi dalamnya. Tapi aku lupa, ini kan dinding mana punya indra, mana bisa dengar, mana bisa bicara. Kuajak tertawa pun sia-sia. Hanya bisa diam menghalangiku bergerak. Untuk apa dulu aku membangun dinding ini, salahku. Aku fikir bila bisa masuk ke dalam tempat ini aku bisa bahagia. Entahlah, tapi dulu aku tertawa, bercanda, dan mungkin bahagia saat membangun dinding-dinding ini mulai dari tempat terdasarnya dibawah. Saat tingginya masih sepinggangku aku bisa menjadikannya tempat duduk untuk ku beristirahat saat hari memaksaku untuk merasa lelah. Saat tingginya sebahuku, aku bisa bersandar disitu. Tapi kini tingginya diatas kepalaku. Keempat sisinya berbentuk persegi, aku didalamnya, tertutup dari segala lingkup kehidupan. Dan atapnya pun begitu. Akhirnya kubiarkan saja dindingnya runtuh sedikit demi sedikit. Saat tingginya tinggal setinggi bahuku, aku bisa mendengar seseorang disampingku, kami sudah lama ada ditempat yang sama, hanya saja terhalang dinding sialan ini. Dia bercerita kepadaku tentang dindingnya yang sama buruknya dengan dindingku yang kini sudah mulai runtuh juga. Saat tinggi dindingnya sepinggangku, aku jadi sering bicara dengannya, walaupun dinding-dinding ini masih jadi belenggu. Semakin dindingnya habis aku semakin mengenalnya. Dia tau dindingku, dan aku tau dindingnya. Saat dinding kami sama-sama habis karena runtuh, kami pun mulai membangun dinding yang baru, melupakan dinding lama itu dan bahagia dengan dinding kami sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar