Aku mendengarkanmu saat dengan manjanya kau berkata 'aku sayang kamu' sembari memeluk tanganku dan menyandarkan kepalamu dibahuku. Masalahnya, bagaimana bisa aku percaya. Mengingat baru kemarin aku tak sengaja melihatnya sengaja menyandarkan kepala dipundakmu. Dia bisa segitu nyamannya denganmu, aku yang kesal. Aku yang ingin marah tapi tak punya hak. Aku yang ingin benci tapi tak ada artinya. Aku dimata mu sama dengan dia dimatamu. Sekarang kau bilang 'aku sayang kamu'? Tak salah memang? Tak salah ucap? Aku ingin merasa dibohongi, tapi kurasa kau tak ada niat untuk berbohong. Entah membohongiku atau dia. Bisa saja besok dia yang kesal, lalu kau yang menenangkannya dan mengatakan hal yang sama. Betapa murahnya kata-kata itu. Hanya mengambang di sela-sela bibir, dilemparkan begitu saja tanpa ada perasaan sebagai landasannya. Aku tak mempertanyakan kesetiaanmu. Aku tak mempertanyakan keinginanmu. Tapi jangan menulis dua cerita berbeda diatas dua kertas dengan tangan kiri dan kananmu dalam waktu yang sama, itu benar-benar menyulitkanmu. Lalu kau akan kebingungan bagaimana memikirkan akhirnya. Membuatmu tersiksa tanpa ada yang menyiksa. Percaya saja, hatimu takkan bohong. Asal keinginanmu tak berlebihan, keadaan juga tak akan menyulitkan. Tak usah terbang kalau niatmu hanya untuk melihat keindahan sekitar tanpa tau dimana nanti kau beristirahat. Yang ada kau kelelahan, jatuh, lalu hidupmu selesai.
Sabtu, 27 Desember 2014
Jumat, 26 Desember 2014
Sembunyikan Aku
Sembunyikanku ditempat yang jauh, tempat dimana tak terdengar suara orang-orang yang membicarakanku. Tempat dimana kalimat tak jadi alat untuk menghancurkanku, dimana cerita tak jadi senjata untuk memengaruhiku. Sembunyikanku, bawa aku berlari dari kepahitan yang pelik. Dari gaduhnya suara orang-orang yang berbisik dan berisik. Aku muak. Sembunyikan saja aku di gua biar dinding batunya menghalangi orang-orang yang tak bosan memandangiku. Atau di tengah padang ilalang, dan kubiarkan ilalang menyelimutiku dan membiarkanku terlarut dalam kelembutannya. Atau di laut, biar ombaknya yang ganas menenggelamkanku ke dasar hingga tak ada satupun orang bisa menemukanku. Aku bosan mendengar perkataan manis sialan. Terlalu manis bisa jadi penyakit bisa membunuh diam-diam. Aku tak mau mati terbunuh. Apa lagi ditancapkan pisau dari belakang, siapa yang mau? Sembunyikan aku ditengah hutan. Sehingga hanya ada pohon yang menjadi tempatku menyandar, pohon tak akan menusukku dari belakang. Sembunyikanku ditengah badai salju, lalu biarkan dingin membunuhku, lalu biarkan rindu dalam hati orang-orang itu yang menjadi pembunuh. Itupun kalau mereka sempat merindukan aku.
Daun-daun Kering
Sepintas aku ingin menjadi sepertimu, tertiup angin hingga terlepas dari pelukan sang ranting lalu melayang-layang di atmosfer merasakan lembutnya sentuhan angin dan jatuh tak berdaya dan mati membusuk dibawah. Tiada beban tersirat, tiada fikiran terlintas hanya kering tak berguna yang hidup dalam beberapa musim berganti. Tumbuh menjadi daun kecil berwarna hijau rumput, menghirup banyaknya karbondioksida yang berterbangan dan menjadi tempat pelepas rindu sang embun kala malam turun dari puncaknya hingga berganti terangnya matahari yang membuatku kuat dan justru membuat sel-selku mati hingga aku mengering. Tak berarti memang, tapi sudahlah, musim pasti berganti, ranting pasti mengerti mengapa aku pergi, daun baru pasti akan tumbuh dalam pelukmu lagi nanti. Dedaunan yang menjadi peneduh akan tetap menjadi sampah saat rumahnya tak lagi di atas. Terinjak. Aku bisa dengar bagaimana rintihannya. Tapi begitulah daun, tak selamanya tinggi diatas, pasti ada masanya untuk jatuh. Dihempas angin-angin, dibawa jauh dari rumahnya, lalu dilupakan tanpa sedikitpun kenangan. Jangan menangis, daun.
Abaikan
Ku cabik saja kepedihanku yang menusuk, keinginanku untuk membunuh perasaanku. Aku tak bisa bohong, rasa itu masih ada. Kamu yang sudah tiada, aku berharapnya kamu mati, sayangnya tidak. Salahnya adalah ingatanku terlalu kuat dan hatiku yang sangat lemah. Aku tau tak hanya aku, kamu juga begini, setidaknya sama-sama tau rasanya diabaikan. Khayalan tinggi yang kemudian jatuh hingga berkeping-keping hancurnya. Menyisakan sebagian kenangan yang ingin tapi tak ingin dilupakan. Kau menangis dalam diammu, aku tau, karena akupun begitu. Diamku meneriakiku, heningku memaki, kenanganmu menusuk, dan hati merintih kesal, marah! Aku ingin kembali disaat pertama kita bertemu, disaat kita saling tidak tau, dan saat itu aku akan segera pergi meninggalkanmu, mengabaikan kehadiranmu. Berpura-pura tersenyum pun tak ada gunanya, mereka tau bagaimana aku terluka, mereka tau bagaimana kau melukaiku atau bagaimana aku melukaimu. Karena ceritaku tentangmu pasti berbeda dengan ceritamu tentangku. Semua orang hanya mendengar lalu memandang, yang peduli akan datang, yang tak suka akan tertawa.
Rabu, 24 Desember 2014
Aku Ini Bintang
Aku ini bintang, panas dan membakar, bisa saja melenyapkanmu saat kau lengah. Aku ini bintang, cahayaku setitik putih tak berhati dan berkasih. Aku ini bintang, bisa jatuh kapan saja, bisa jadi pengabul harapan tapi bisa jadi yang pertama menghancurkan. Aku ini bintang, besar dan bercahaya. Tapi kecil dan redup. Aku ini bintang, sinarku mahal. Jadi apa malam tanpaku dan jadi apa bulan tanpaku sebagai penghiasnya. Aku ini bintang, jadi tontonan milyaran orang tiap malam, mereka bilang aku dan bintang lain membuat pola dilangit, membuat formasi padahal aku sendiri tak tau, aku hanya bercahaya sesekali berkelip, peduli apa aku kata mereka. Aku ini bintang, aku lebih tau seperti apa dunia dibanding kalian. Aku diatas. Di langit. Di antara puing-puing awan tak tau diri yang menghantamku lalu pergi, begitu saja setiap hari sampai mereka bosan sampai mereka kesal dan menurunkan hujan membuatku harus bereteduh ditempat yang jauh, yang tak terlihat dan kalian menganggapku tak ada. Aku ini bintang, menjadi pujaan namun terkadang tertutup debu sialan membuatku jatuh perlahan-lahan lalu bersusah payah bangkit lagi. Jatuh lagi. Aku ini bintang, diam dan menunggu waktu berpijar sampai pola rotasi memanggilku untuk kembali bersinar. Aku ini bintang, tangisku tak dipedulikan dan kesalahanku jadi hinaan, jadi kebahagiaan orang. Jadi penderitaanku. Aku ini bintang, biar saja malam yang dengar dan aku hanya menunggu waktu sampai aku meledak menjadi kepingan tak berguna.
Biar Syair Menjawab
Menulis itu bagai melukis, hanya saja menulis berarti merangkai bongkahan kata yang terpisah menjadi suatu bagian yang indah. Sedangkan melukis berarti menggabungkan beberapa warna menjadi sebuah gambar yang memiliki arti dalam kehidupan. Sama saja seperti bernyanyi, mengisahkan sebuah syair tentang cinta dengan lantunan nada dan menjadi melodi paling indah yang tiada duanya. Seperti hal nya puisi, meyajakkan kata, mengumpamakan kalimat dan mengibaratkan bahasa. Dituangkan dalam baris serta berakhir dalam rima yang sama. Cinta mungkin saja berarti luka, segala kepahitan dan kesakitan. Namun kata yang seakan berwarna mengubahnya menjadi cerita. Bagai roman terkenal aku dan kamu menjadi bagian, satu dari dua hal yang tak pernah saling tau sebelumnya. Warna membuat kita menjadi nyata seakan bagian latar mendukung kisah bertemu dan menyatunya aku dan kamu. Tapi bagaimana cerita cintanya? Biar syair yang menjawab, biar nada yang melagukan dan biar melodi yang menyanyikan. Kita akan berjalan dengan iring petikan gitar yang membuat hati ingin riang dan perasaan ingin tertawa. Tapi kala sedih menghantam seakan terdengar gesekan biola mengeram menerkam seluruh hati dan menjatuhkan perasaan hingga berkeping-keping hancurnya. Namun setelah badai pergi, biarlah piano menghibur. Memainkan nada lembut dan kembali menjadi lagu yang utuh untuk menemani hati yang kembali bernyanyi. Sajak-sajak puisi seakan menjadi bisikkan sehari-hari yang terdengar di telinga dan masuk ke dalam otak. Terngiang. Ah, kamu membawaku terlalu dalam. Mungkin ini sebuah warna yang tak sengaja kulukis dalam kanvas yang kau punya. Putih akan tetap jadi putih bila tak ada biru yang menjadikan langit, tak ada merah yang menjadikannya tanah, tak ada hijau yang menjadikannya padang rumput panjang, dan tak ada hitam yang menjadikannya gelap. Mungkin mengusam tanpa warna lalu mati tanpa kenangan.
Minggu, 14 Desember 2014
Bisu
Masih di malam yang sama, memandangi langit kamar yang terang sunyi dalam merdu suara angin yang membuat dedaunan menari. Memikirkan hal yang tak pernah selesai. Melukis langit-langit kamar dengan secercah awan khayalan penuh warna kesenduan. Aku ingin kau mendengar tapi itu terlalu berlebihan, aku membayangkanmu tertawa atau bahkan marah setelah aku selesai mengatakan kalau aku takut. Kehilangan. Begitu yakinnya aku bahwa kau takkan bodoh menjatuhkan dirimu dalam ombak. Tapi bagaimana kalau ombaknya yang menjatuhkanmu. Menenggelamkan perasaanmu. Menenggelamkan hatimu. Menenggelamkanku jauh didasar laut dan membiarkanku melihat ombak menuntunmu jauh ke samudera terdalam di hatinya. Sesekali aku berfikir, aku bisa menjagamu dari tangannya, menjagamu dari perhatiannya. Aku menjagamu dengan penuh, tapi kau sendiri tak bisa menahan hatimu, lalu apa gunanya. Kalau kau sudah tau api itu panas pasti akan kau jauhi kan, makanya aku lebih suka diam. Kubiarkan apinya tetap padam, meskipun api membakar hati ini sendiri. Takkan kubiarkan kau terkena percikannya apalagi sampai menjadi kobaran. Mendung tak berarti hujan, dan hujan tak berarti ada pelangi, semuanya kan tak pasti. Aku juga tak tau siapa yang menjadi prioritas utamamu dalam hati. Bukannya menuding, aku percaya padamu, tapi tidak dengannya.
Senin, 08 Desember 2014
Dinding
Aku dalam sebuah ruangan yang besar dan gelap. Seseorang diruangan samping tempatku, kami cukup dekat namun berbatas dinding yang tak kalah besarnya dengan dinding yang menjadi pagar ruanganku. Ruang yang membuatku sesak. Sesak yang tak hanya kurasa saat bernafas namun sesak yang juga kurasa saat berusaha membuat dinding ini tetap utuh, menjaga dinding ini tetap menjadi tempat yang nyaman untuk ku tinggali. Semakin lama disini semakin merasa kehilangan, dinding terlalu menjadi batas untuk melihat bagaimana indahnya matahari menjadi raja kala siang dan bersembunyi karena takut akan melihat malam yang begitu gelap. Apa aku juga begitu, terlalu takut dengan kegelapan dalam ruang ini hingga yang bisa ku lakukan hanya menyindir pelan dinding ini agar mau membuka sedikit jendela agar cahaya bisa menerangi dalamnya. Tapi aku lupa, ini kan dinding mana punya indra, mana bisa dengar, mana bisa bicara. Kuajak tertawa pun sia-sia. Hanya bisa diam menghalangiku bergerak. Untuk apa dulu aku membangun dinding ini, salahku. Aku fikir bila bisa masuk ke dalam tempat ini aku bisa bahagia. Entahlah, tapi dulu aku tertawa, bercanda, dan mungkin bahagia saat membangun dinding-dinding ini mulai dari tempat terdasarnya dibawah. Saat tingginya masih sepinggangku aku bisa menjadikannya tempat duduk untuk ku beristirahat saat hari memaksaku untuk merasa lelah. Saat tingginya sebahuku, aku bisa bersandar disitu. Tapi kini tingginya diatas kepalaku. Keempat sisinya berbentuk persegi, aku didalamnya, tertutup dari segala lingkup kehidupan. Dan atapnya pun begitu. Akhirnya kubiarkan saja dindingnya runtuh sedikit demi sedikit. Saat tingginya tinggal setinggi bahuku, aku bisa mendengar seseorang disampingku, kami sudah lama ada ditempat yang sama, hanya saja terhalang dinding sialan ini. Dia bercerita kepadaku tentang dindingnya yang sama buruknya dengan dindingku yang kini sudah mulai runtuh juga. Saat tinggi dindingnya sepinggangku, aku jadi sering bicara dengannya, walaupun dinding-dinding ini masih jadi belenggu. Semakin dindingnya habis aku semakin mengenalnya. Dia tau dindingku, dan aku tau dindingnya. Saat dinding kami sama-sama habis karena runtuh, kami pun mulai membangun dinding yang baru, melupakan dinding lama itu dan bahagia dengan dinding kami sendiri.
Enam Tujuh Empat Belas
Berulang lah lagi hari saat aku mulai kembali merasakan hati. Yang lama dalam diam, yang lama dalam kelam. Melihat tatapan mata yang diam-diam memperhatikan, yang berpura-pura tidak tau apa-apa saat kubalas melihat. Tak terhitung berapa kali dia melakukannya, tak terhitung juga berapa kali aku membalasnya, seperti ketagihan, ingin melihatnya lagi lalu lagi. Benar saja, jadi aku yang memandangnya dan jadi dia yang membalasnya. Kalau saja jam punya waktu untuk berhenti, pasti aku yang jadi tak punya waktu untuk berhenti melihatnya. Selagi dia diam, selagi dia tak tau, karena begitulah yang namanya mengagumi diam-diam. Tempat yang jauh adalah tempat yang dekat untuk melihat, tapi tempat yang dekat adalah tempat yang jauh, bisa apa bila sedang dekat dengannya? Paling sekedar menyapa, bicara seadanya atau bahkan di ada-adakan biar ada. Kelas tersingkat yang pernah ku alami, teman terdekat yang tau-tau pergi saat kelas berakhir, lalu tak pernah terlihat lagi. Hanya beberapa di dalam pesan, saling meledek, saling tertawa karna becandaan yang sama, tapi sayang, maya. Sekarang dia hanya teringat itupun kalau aku sempat memikirkannya, semakin sering mengingatnya malah semakin pudar wajahnya, mengingat bukan seperti melihat. Masalahnya dia seperti racun,sekali tenggak menyebarlah dengan cepat, racun yang ingin ku minum lagi dan lagi biar fikiran ku terus tertuju padanya dan ya, tak berhenti memikirkannya. Sayangnya hari tak akan jadi siang atau malam terus dan aku juga tak bisa bersamanya terus, mungkin suatu saat nanti aku akan menemukannya, atau dia menemukanku. Biarkan saja waktu kubuat menunggu hingga hari itu tiba dan tak kubiarkan berlalu. Belasan jam bercanda dengannya tanpa tau namanya, menjadi penasaran tersendiri yang tak mudah sembuh. Harusnya ku tanya, padahal aku tau bertemu dengannya hanya hari itu, dan lusa atau nanti belum tentu ada kesempatan menuntunku untuk bertemu dia lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)