Sabtu, 07 Februari 2015

Selamat pagi, malam

Selamat pagi, malam. Aku terbangun lagi. Entahlah, dentingan jam ini membangunkanku. Menggangguku. Apa kabarmu? Ah, kenapa kau bangunkan aku, aku mungkin tak bisa banyak berbincang denganmu. Tapi langitmu terlalu gelap. Apa bintang-bintangmu tertidur? Bangunkan saja mereka agar langitmu tak segelap itu, dan kau tak akan menjadi malam yang ketakutan. Hei, hari ini tak begitu baik. Pagi terlalu menyejukkan untuk kutinggal pergi, siang terlalu panas hanya membuatku merasa tak nyaman. Senja tak terlalu buruk, tapi jalanan membuatku kesal, teralu ramai, membuatku sesak. Aku menunggumu kembali hingga aku tertidur, selamat pagi, malam. Aku merasa aman sekarang. Sampaikan salamku pada teman pagimu, katakan, buat aku semangat esok hari. Aku ingin menjadi lebih dari yang kemarin. Esok pasti akan tiba, meninggalkan masa yang terjadi hari ini dan membuatnya menjadi kemarin. Aku tak sedih, hanya saja belum banyak yang dapat kulakukan hari ini, belum ada yang bisa kubanggakan. Ada saran? Aku rasa tidak. Mengapa tidak kau ceritakan kisah tentangmu, tentang kelap-kelip bintang, lentera sang bulan, teriakan serigala. Aku penasaran, ceritakanlah. Akan aku anggap sebagai dongeng penidurku. Atau nyanyikan saja beberapa lagu, tiupan anginmu akan menghipnotisku. Hei, apa kau juga tertidur? Lagu-lagu tlah kunyanyikan, bintang tlah kuhitung banyaknya, rembulan menyilaukan mata, dan ku menunggu pagi menjelang. Selamat pagi, malam. Dinginmu menyejukkan membuatku merasa nyaman. Kini ku tlah lelah, sampai bertemu nanti, beberapa jam lagi. Selamat malam, pagi.

Jumat, 06 Februari 2015

Hujan diluar

Memandangi hujan diluar
Menghitung butiran air dijendela
Kala senja diujung hari
Saat dingin menusuk hati

Angin bertiup menggoyahkan daun
Hujan yang membasahi sepanjang tahun
Dalam sendiri yang terdengar sunyi
Suara rintik tak henti bernyanyi

Seingatku hujan terus bersenandung
Teruslah jatuh hingga tak berlalu
Aku suka melihat langit biru yang mendung
Menyanyikan lagu dengan haru dan seteguk rindu

Selasa, 03 Februari 2015

Cahaya Itu (2)

Tetaplah terbakar, aku tak akan berhenti memanggil namamu dalam setiap putaran dimensi waktuku. Aku tak mau melepasmu disepanjang jalanku, biar jalan itu tau kalau aku pernah melewatinya berdua denganmu sembari menggenggam tangan kananmu. Dan jangan memohon padaku untuk melepas pelukanku, itu sia-sia. Kuatku dan eratku hanya kuhabiskan untuk memelukmu. Melindungimu dari galaknya semesta dan buasnya musuh-musuhmu. Tetaplah terbakar. Tetaplah menjadi hati yang tersulut. Menghantam bintang-bintang diantara malam dengan api cintamu yang tak pernah padam. Biarkan merah tetap menjadi darah. Mengalir sederas ombak menemani aliran dalam nadimu, membawa sepintas masa, menghidupkannya lagi dalam raga dan jiwa, jiwa yang terbakar. Rasakan hatimu, bawa aku menjelajah kesitu, membuat masa depan menunggu, karena iya atau tidak hari ini pasti berlalu. Menghapus dongeng masa laluku, masa lalumu. Menulis skenario baru, layaknya sebuah drama klasik. Taman taman di angkasa akan menyambut, bunga-bunga yang kembali hidup, mengharumkan nafas dalam ruanganku bersamamu, dalam teduhnya hati. Kau tak akan sendiri bila pergi, aku di sampingmu menemani, dibelakangmu mengikuti, didepanmu memimpin langkahmu. Kau tak akan tertawa sendiri, aku bersamamu bercanda sesuka hati. Kau tak akan menangis sendiri, kau dipelukku, menunggu kesedihan ini berakhir, melihat masa berganti, menunggu waktu berotasi, membuat hari tua menanti, karena kita akan ada disana suatu hari nanti.

Cahaya Itu (1)

Coba dengar, bagaimana aku mengucap namamu diakhir kalimat 'aku sayang kamu', lalu fikirkan, apa mungkin aku akan begitu saja meninggalkanmu, mendorongmu jatuh ke dalam jurang yang penuh dengan ketakutan terbesarmu, penuh kekhawatiran terbesarmu. Coba lihat, seperti apa aku menggenggam tanganmu sepanjang jalan menuju suatu tempat dimanapun itu. Lalu bayangkan, apa mungkin aku akan tega mengecewakanmu, membiarkanmu terluka hingga sakit terus membelenggumu. Coba peluk seperti aku memelukmu, lalu rasakan bagaimana eratnya, bagaimana sulitnya melepaskanmu. Aku terlalu dalam, aku tak terjatuh, aku yang berjalan menuju tempatmu menungguku. Rumah ternyaman dalam hatimu, rumah tertentram dalam sisa hidupku. Badai pasti menderu, tapi jangan pernah takut, aku tak terlahir untuk meninggalkanmu dan aku tak terjatuh untuk membawamu. Dengar kata hatimu, hati yang bicara tak akan menjauhkanmu dari apa yang ada seharusnya. Sejenak biarkan api membakarmu, meredam dendammu, menggantikan amarahmu, tak ada lagi biru yang menjadi kelabu, kau tau aku seperti aku tau kamu. Biar api menyulut kayu-kayu yang telah padam dan melemahkanmu, itu apiku, membakar cintamu lagi yang telah hangus dan padam dalam waktu diantara ribuan malam yang dinginnya menghantam. Apiku tak sepanas amarahmu, tapi seterang cahayamu menyilaukan bintang sekalipun, menghancurkan harapan mereka, meyakinkanku bahwa kaulah cahaya itu. Kaulah lentera itu, kaulah jiwa yang tersulut itu.