Jumat, 16 Januari 2015

Momok/Hantu

Cepat lari secepat kau bisa, atau sembunyi apabila persembunyian bisa melindungimu. Irama langkahmu akan memecah keheningan dan aku akan dengan mudah menikmati melodinya hingga mencium aroma tubuhmu yang terselip di pohon-pohon rindang atau di gedung-gedung menjulang. Jangan dulu mati, aku tak akan pernah berhenti, mati hanya akan membuatmu jadi tak bisa menikmati. Jangan berhenti, terus saja berlari sebelum rasa lelahmu membantuku menemukanmu. Dan ya, aku akan membunuhmu. Memburumu seperti menepuk nyamuk dengan satu tangan, bahkan lebih mudah lagi. Jangan lelah dulu, paling tidak berusahalah melawan sebelum kau benar-benar tau seperti apa rasanya dijerat kematian. Aku bukan pemburu, tapi sepertinya separuh hidupku akan kuhabiskan untuk berburu. Aku tak membunuh kelinci atau kucing, mereka terlalu lemah untuk melawan. Aku lebih suka membunuh cheetah atau serigala, karena mereka terlalu bodoh untuk membunuh dan memangsa tanpa menggunakan topeng atau bulu domba. Membuatku naik darah dan berbalik ingin memangsa mereka, paling tidak sampai mereka tak bernyawa. Membuatnya tak berkutik dan tak melawan, lalu aku menjadi momok yang menakutkan untuknya. Atau menjadi hantu yang bergentayangan dikepalanya. Momok seram yang dianggap tak berbahaya padahal tidak, siapa yang menganggapku begitu sudah jelas salah. Sesekali aku akan menjadi hantumu, menakutimu, memburumu, lalu menjadi momok yang beringas untuk memangsamu.

Minggu, 04 Januari 2015

Jingga Seperti Senja

Aku ingin menyapa, betapa indahnya. Lihatlah, jingga seperti senja. Membawa bahasa yang seakan tak cukup untuk diungkapkan dengan kata. Melantunkan nada yang membuat hati melayang-layang terpesona. Biarkan saja matahari tenggelam ke dalam samudera. Aku ingin melihat warnanya, jingga seperti senja. Hinggap didalam benak. Menjadi karang-karang kenangan, terpaku dalam ingatan, mengingatkan kalau suatu hari ia pasti datang. Yang indah warnanya, bercahaya dan menyilaukan mata. Sandikala, jingga seperti senja. Seperti terang namun tak sebenderang siang. Datanglah lagi esok hari, aku disini menantimu kembali.

Tirai

Seberapa kuat kau bertahan. Menutupiku dari tampiasnya air hujan. Melindungi dari hamparan cahaya yang menyilaukan. Bambu-bambumu menjadikanmu tirai. Kuat. Meskipun angin pasti menggoyahkan. Menggantung di langit-langit menunggu dibuka untuk sekedar meneduhkan. Menunggu kembali ditutup biar dinginnya angin malam tak menghancurkan. Apa tirai punya hati? Tidak. Tapi tirai mengerti siapa yang harus dilindungi.

Jumat, 02 Januari 2015

Kalau Hujan Reda

Kalau hujan reda, aku datang nanti. Bertemu dan sekaligus membunuh rindu. Menjumpai sisa kenangan yang pernah kutinggalkan hingga aku berfikir aku kehilangan. Kalau hujan reda, aku akan segera sampai disana. Melihatmu tertawa karena candaan kita yang aku harap masih sama lucunya seperti saat kita tertawa dulu. Kalau hujan reda, aku bawakan seikat bunga. Bunga dan tangkainya yang bisa layu bila tak kau jaga dengan sepenuh hatimu. Kalau hujan reda, dengarkan aku sedikit bercerita. Tentang bagaimana aku melalui hidupku sementara kau jauh dari tempatku. Melihatmu dipelupuk mata namun tak ada daya untuk memeluk. Mendengar suaramu memanggil namun tak ada yang dengar saat ku panggil. Mimpi-mumpiku jadi ruang untuk bertemu denganmu. Khayalanku jadi tempat meletuskan kerinduan, meski ku tau itu hanya membuat ku semakin ketagihan untuk merindukanmu. Tidak ada sedetik dalam hidupku yang kulalui tanpa memikirkanmu. Tidak ada hari dimana aku tak pernah merindukanmu. Kalau hujan reda, berjalan-jalanlah denganku. Nanti kita beli gula-gula yang manis, biar gula-gula itu jadi penerjemah bagaimana perasaanku bila aku melewati hidup bersamamu, manis. Tak apa bila hanya gerimis. Aku hanya takut hujan membasahimu lalu membuatmu sakit. Kalau hujan reda, aku ingin memelukmu, berbagi rindu. Dan kubiarkan hujan tak pernah reda biar pelukanmu tak lepas dariku.

Ada Diam Yang Bicara

Di sekeliling kucoba temukan jawaban, hal-hal busuk yang tak begitu menarik perhatian. Ah bagaimana bisa, aku terngiang suara keheningan yang berteriak seakan ingin memecahkan pita suara. Pertanyaanku tak berbuah jawaban. Aku merasa kesia-siaan ini semakin menjadi nyata membuat uluh hatiku terkoyak, melumpuh dalam pekat, segelap kelam tak bersirat. Ingin meledakkan amarah, tapi tak tau harus kemana, bukan padamu, bukan juga pada siapa. Aku hening saja dalam diam. Menikmati kesunyian yang berpadu suara senyap. Ini menggelitik. Seleraku hilang untuk mencinta, begitu juga rindu yang menggebu ingin kubunuh, tak ada lagi hal busuk yang menjadi pengganggu. Ada diam yang bicara, saat ku kehabisan kata dan tak tau harus bilang apa, hanya merangkai keheningan dengan pola dan rima yang sama, menunggu sampai kau sadar bahwa aku sedang diam untuk menunggumu mendengar. Aku dimaki kesenyapan, tergelincu dalam kepekatan, rasanya gelap, dan separuh hatiku tak bertuan. Seikat kata yang ku punya sudah habis. Keinginan untuk membuatmu mengerti telah terkikis. Biar diamku saja yang bertanya, biar bicara, biar kau tau bagaimana rasanya. Aku tak perlu jawaban, aku sudah tau isi hatinya.